Sahabat As Shidiq Aqiqah,
Aqiqah Ditanggung Siapa? Simak 4 Pendapat Ulama
Mungkin
sebagian dari ayah & bunda ada yang masih bertanya-tanya,
sebetulnya aqiqah itu tanggung jawabnya siapa yah? apakah tanggung jawab
ayah? atau bunda? kalau misal kedua orangtuanya meninggal dunia siapa
yang paling bertanggung jawab atas aqiqah anak tersebut? Para ulama
berselisih pendapat mengenai pihak yang bertanggung jawab untuk
melaksanakan aqiqah.
Pendapat Pertama :
(Tanggung jawab aqiqah oleh siapa?) Pendapat pertama yang bertanggung jawab untuk melaksanakan aqiqah
adalah bapak si bayi. Anggota keluarga lainna selain bapak tidak
bertanggung jawab untuk melaksanakannya. Pendapat tanggung jawab aqiqah ini
dari penganut mazhab maliki dan hanbali. Para ulama penganut mazhab
Hanbali juga mengatakan, “Apabila si bapak sudah meninggal dunia
sementara bayinya masih berada dalam kandungan, ibunya dapat mewakili
(suami) untuk mengaqiqahinya.” (Al Muntaqa 4/199)
Al
Murdawi mengatakan,”Tidak boleh melaksanakan aqiqah selain bapak menurut
pendapat yang benar dalam mazhab ini, dan difatwakan secara tertulis
oleh mayoritas sejawat kami.” (Al Inshaf 4/112).
Dalil mereka adalah hadis Amr bin Syu’aib dari bapaknya, dari kakekny, “Barangsiapa yang mendapatkan anak lalu ingin menyembelihkan hewan untuknya, silahkan dilakukan.” Mereka mengatakan bahwa hadis ini menunjukkan bahwa aqiqah dilakukan atas biaya bapak untuk anaknya. Oleh Karena itu Rasulullah bersabda “Faahaba ayyangsuka anhu falyaf al.”
‘lalu ingin menyembelihkan hewan untuknya, silahkan dilakukan.’ Maka
beliau menetapkan hal itu dari bapak untuk anak. (Al Muntaqa 4/199)
Dinukilkan
dari Imam Ahmad bahwa aqiqah menjadi tanggung jawab bapak, Ismail bin
Said asy- Asyalinji mengatakan : Aku bertanya kepada Ahmad tentang
seseorang yang diberitahu oleh bapaknya bahwa dia belum mengaqiqahinya, Bolehkah orang itu mengaqiqahinya dirinya sendiri? Beliau menjawab, “Itu adalah tanggung jawab bapak.” (Tuhfatul Maudud Hal 46)
Pendapat Kedua :
Apabila si bayi memiliki harta, maka biaya aqiqah diambilkan dari hartanya. Jika si bayi tidak memiliki harta dan masih memiliki bapak, maka aqiqahnya menjadi tanggung jawab bapak, Kalau bapaknya sudah meninggal dunia dan masih memiliki ibu, maka aqiqahnya menjadi tanggung jawab ibu. Pendapat ini dikemukakan oleh Ibnu Hazm. (Al Muhalla 6/235)
Pendapat Ketiga :
Aqiqah
untuk bayi tanggung jawab orang yang bertanggung jawab untuk memberi
nafkah kepada si bayi dan biayanya diambil dari harta orang tersebut,
bukan harta si bayi. Ini adalah pendapat mazhab Syafi’i. Al Mawardi
mengatakan,”Orang yang bertanggung jawab atas pelaksanaan dan
penyembelihan hewan aqiqah adalah orang yang bertanggung jawab untuk memberi nafkah kepada si bayi ; seperti bapak, kakek,
ibu atau nenek. Sebab, biaya aqiqah termasuk dalam lingkup nafkah yang
harus dikeluarkan untuk si bayi. Jika nafkah si bayi diambilkan dari
hartanya sendiri (seperti bila si bayi adalah orang kaya karena
mendapatkan warisan atau hibah), biaya aqiqah tetap tidak boleh diambil dari hartanya.
Sebab, aqiqah hukumnya
tidak wajib. Sama seperti qurban yang biayanya juga tidak diambilkan
dari harta miliknya. Bapak atau orang yang berkedudukan sebagai orang
yang bertanggung jawab atas nafkah si bayi itulah yang disunnahkan untuk
melakukan ritual penyembelihan hewan aqiqah tersebut. Sama halnya
seperti apabila si bayi tidak memiliki harta. Gugurnya kewajiban memberi
nafkah tidak dapat menggugurkan sunnah aqiqah. Jika si bapak tidak mampu melaksanakan aqiah, pelaksanaannya boleh ditunda sampai dia mampu.” (Al Hawi 15/129)
Pendapat Keempat :
Yang bertanggung jawab untuk melaksanakan aqiqah
untuk bayi adalah selain bapak dan orang yang tidak memiliki tanggung
jawab untuk memberi nafkah. Pendapat ini dikemukakan oleh Al Hafizh Ibnu
Hajar, ash Shan’ani dan Asy Syaukani. (Fathul Bari 12/6) Argumentasi
mereka berdasarkan kalimat yang terdapat dalam hadis samurah yang
berbunyi ‘disembelih untuknya pada hari ketujuh kelahirannya’. Al Hafizh
Ibnu Hajar mengatakan,”Lafal dengan harakat dhammah pada huruf Ta dalam
konteks majhul menunjukkan bahwa yang menyembelih tidak ditentukan.”
Asy Syaukani mengatakan ,’ lafal disembelih untuknya pada hari ketujuh
kelahirannya’ menunjukkan bahwa yang mengaqiqahinya boleh orang lain seperti karib, kerabat, handai taulan dan lain sebagainya.” Hal ini didukung dengan Rasulullah yang mengaqiqahi Hasan dan Husein.
Dari pendapat diatas menurut Dr Husamuddin bin Musa Afanah, siapa saja sebenarnya boleh mengaqiqahi bayi. Orang yang paling berhak mengaqiqahi bayi adalah bapaknya atau orang yang paling bertanggung jawab atas nafkah si bayi.
tags : aqiqah , jasa aqiqah , paket aqiqah , harga aqiqah
tags : aqiqah , jasa aqiqah , paket aqiqah , harga aqiqah